ASEAN Perspective

Menilik Perkembangan, Problematika, Tantangan, dan Strategi Demokratisasi di Asia Tenggara

Annisa Damayanti H. W.

Perkembangan Demokrasi di Dunia

Perdamaian global merupakan suatu konsepsi atau cita-cita yang menjadi tujuan semua bangsa. Gagasan terkait demokrasi menjadi penting dan berkorelasi untuk mewujudkan perdamaian dunia karena ide-ide substansi demokrasi menyulitkan adanya pihak yang otoriter untuk menghantarkan pada perang. Di Asia, demokratisasi telah dimulai sejak Perang Dunia II yang berlandaskan pada liberal-ofensif dan penggunaan militer oleh Amerika Serikat yang berimplikasi terhadap kejatuhan Jerman di Eropa dan Kekaisaran Jepang di Asia. Tragedi bom atom “Fat Man” dan “Little Boy” yang menghancurkan distrik penting Jepang, Hiroshima dan Nagasaki menjadikan negeri matahari terbit tersebut sebagai poros demokrasi yang menjadi pusat atau jangkar bagi demokrasi Kawasan Asia di masa depan. Kemenangan AS pada Perang Dunia II tersebut menciptakan pembentukan peta geopolitik dunia serta ketegangan dengan mantan aliansinya, yakni Uni Soviet sejak perang maupun pasca perang melalui serangkaian konferensi (Casablanca, Yalta, Tehran, dan Potsdam) (Swift, 2003) yang kemudian berlanjut menuju Perang Dingin. Konflik Perang Dingin AS-Uni Soviet telah menciptakan aktor proxy war di seluruh dunia yang ditandai dengan konflik bersenjata pada pertengahan Abad 20, seperti Perang Korea maupun Perang Indochina. Periode tersebut, Kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara digunakan AS untuk membendung pengaruh komunis Soviet, khususnya Semenanjung Korea, Indochina, dan Indonesia (selain Invasi Teluk Babi 1961 untuk menggulingkan Fidel Castro di Kuba). Lebih lanjut, demokratisasi yang dimotori oleh AS tersebut mulai tersebar di Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang ditandai dengan Invasi Baghdad 2003 (Bush vs Saddam Hussein) dan fenomena Arab Spring yang dimulai dari Tunisia hingga Perang Saudara Suriah untuk menggulingkan rezim Bashar Al-Assad.

Demokrasi Indocina (Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand)

Demokratisasi Asia Tenggara dipengaruhi oleh konflik Perang Dingin antara AS-Uni Soviet. Periode tersebut telah menciptakan aktor proxy war di seluruh dunia, termasuk Kawasan Indocina, salah satunya Perang Vietnam. Proxy war termasuk metode perang yang dilakukan di negara ketiga untuk mencapai tujuan internasional menggunakan sumberdaya di kawasan tersebut (Karl Deutsch dalam Mumford, 2013). Konflik bersenjata Vietnam menunjukkan keberadaan rivalitas Great Power antara komunis Tiongkok di Vietnam utara dan demokrasi AS di Vietnam selatan (Saigon). Perang tersebut juga mengindikasikan intervensi dari negara barat yang ingin mendirikan kembali imperialisme di Asia Tenggara yang menjadi salah satu kawasan penting dalam global south yang kemudian bertentangan dengan golongan politik sayap kiri yang terdiri dari gerakan komunis maupun anti-neokolonialisme (Hack dan Wade, 2009) dimana kelompok sayap kiri tersebut merupakan gerakan yang dipengaruhi atau bahkan perpanjangan tangan dari Partai Komunis Tiongkok (Chua, 2001).

Intervensi AS dalam konflik Vietnam pada Perang Dingin tidak lain merupakan suatu upaya pembendungan komunisme di Asia Tenggara (Weatherbee, 2009). Hal tersebut dilandasi terkait kekhawatiran AS akan efek domino yang ditimbulkan dimana dampak tersebut mendorong suatu interrelasi secara ideologis dimana perambatan paham komunis diawali oleh kejatuhan suatu negara pada paham tersebut. Namun, sejak jatuhnya Saigon (Vietnam Selatan) ditangan Vietnam Utara (melalui Vietcong) dan bersatunya Vietnam telah memberi ilustrasi gagalnya intervensi asing di Asia Tenggara termasuk pengaruh demokrasi tersebut. Lebih lanjut, hal tersebut memicu pembentukan rezim bercorak komunis, seperti Pemerintahan Pol Pot di Kamboja dan rezim totaliter lainnya, misalnya rezim sosialis junta militer di Myanmar dan Pemerintahan Hun Sen (Kamboja).

Hambatan demokratisasi Myanmar berasal dari keberadaan junta militer yang memegang kendali di negara tersebut selama puluhan tahun. Proses demokrasi yang diwujudkan dalam pemilihan umum selalu menemui jalan buntu akibat kudeta militer dan penahanan tokoh demokrasi. Pemilihan umum yang memenangkan tokoh demokrasi Aung Saan Suu Kyi dari National League for Democracy (NLD) tidak berjalan lama, bahkan kemudian dikudeta kembali oleh junta akibat perselisihan hasil pemilu yang dinilai curang. Meskipun telah menelan korban dalam demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis maupun tokoh agama, bahkan sanksi ekonomi barat tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pemerintah militer akan menyerahkan kedaulatan tersebut kepada rakyat (Setiawan dan Fathun, 2023). Adapun hambatan demokrasi Thailand berakar dari UU Lese Majeste yang seringkali digunakan untuk menekan kritik terhadap militer maupun pemerintahan yang korup (NuDelman, 2018). UU tersebut menjadi alat pemerintah untuk membungkam demonstran terkait demokrasi di Thailand (Yanottami dan Suhermanto, 2022).

Demokrasi Archipelago Country (Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina)

Perkembangan demokrasi yang terjadi pada negara kepulauan (archipelago country) di Asia Tenggara memiliki keragaman terhadap penerapan demokrasi tersebut. Secara umum, proses demokrasi di Malaysia berjalan dengan baik. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan skor demokrasi yang lebih rendah, tetapi kemenangan partai oposisi di Malaysia menunjukkan iklim demokrasi berjalan di negara tersebut. Corak demokrasi lain ditunjukkan oleh Singapura. Secara umum, negara tersebut memiliki model demokrasi dengan karakteristik penggabungan otoritarian dan kapitalisme (soft authoritarianism). Meskipun tidak menganut demokrasi liberal, Singapura menjadi suatu negara dengan tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi dan dibuktikan dengan nilai IPM tinggi sehingga negara tersebut tergolong dalam negara maju. Dengan demikian, Singapura merupakan suatu negara yang mampu menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat tanpa harus mengadopsi atau menerapkan demokrasi liberal barat (Nurdin, 2023).

Indonesia dan Filipina merupakan negara demokrasi yang terdapat di Asia Tenggara. Adapun Indonesia termasuk dalam negara ketiga terbesar yang menganut sistem demokrasi. Ambiguitas sistem demokrasi yang terdapat pada Indonesia dan Filipina telah memicu pertanyaan, apakah sistem demokrasi pada kedua negara kepulauan di Asia Tenggara tersebut mengalami kemunduran (backsliding)?

Asumsi terkait kemunduran demokrasi tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa terpilihnya pemimpin negara Indonesia dan Filipina tersebut dapat membangkitkan gaya rezim terdahulu dan seolah-olah lupa akan people power tahun 1986 di Filipina maupun Reformasi 1998 di Indonesia. Namun, terlepas dari asumsi tersebut, gaya kampanye kedua pemimpin negara tersebut menunjukkan kesamaan, seperti lebih bersahabat dan mampu merangkul anak muda yang menjadi basis pemilih di kedua negara. Selain itu, pemanfaatan kampanye menggunakan aplikasi TikTok maupun model kampanye yang modern dan seru telah menjadikan daya tarik tersendiri bagi pemilih pemula (Fallahnda, 2023). Lebih lanjut, keberadaan ‘The Silent Majority’ menjadi unik karena memberikan indikasi kemenangan terhadap kandidat pemenang. Eksistensi pemilih ‘silent majority’ tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kebijakan pro-pembangunan maupun kesukaan terhadap tokoh yang tentunya adalah The Most Famous Figure in the Country.

Sementara itu, terlepas dari asumsi terkait kemunduran demokrasi, Indonesia merupakan suatu negara yang selalu berupaya untuk mendorong demokratisasi di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui peran Indonesia dalam ASEAN Way maupun silent diplomacy untuk menangani permasalahan konflik berdarah di Myanmar antara kelompok demokrasi (NLD) dan militer (Tatmadaw). Gagasan terkait demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia tersebut sudah diaplikasikan sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang aktif membentuk forum demokrasi, seperti Bali Democracy Forum (Anggraeni dan Indrawati, 2020). Forum tersebut digunakan untuk mendorong peningkatan demokrasi di Kawasan Asia-Pasifik dan salah satu strategi Indonesia untuk meningkatkan pengaruh politik luar negeri Indonesia.

Referensi

Angreini, Y., & Indrawati, I. (2020). Diplomasi Publik Indonesia Melalui Bali Democracy Forum Sebagai Bagian Dari Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia. Global Insight Journal, 5(1).

Arifianto, M. L. (2017). Menyoal Konsep Demokrasi Amerika Serikat: Promosi dan Trajektorinya. Jurnal Keamanan Nasional, 3(2), 189-232.

Chua, Beng-Huat, 2001. “Notes on the Cold War in Southeast Asia”, Inter-Asia Cultural Studies, 2 (3): 481-485.

Fallahnda, B. (2023). Kemiripan Kampanye Prabowo dan Bongbong Marcos Presiden Filipina. Jakarta: Tirto.id. Dikutip dari Tirto.id pada 6 April 2024:

https://tirto.id/gaya-kampanye-bongbong-marcos-dan-prabowo-mirip-gTo3

Hack, K. dan G. Wade,. (2009). “The Origins of the Southeast Asian Cold War”, Journal of Southeast Asian Studies, 40 (3): 441- 448.

Kusuma, A. S. H. (2023). Indonesia dan Filipina: Perbandingan Sistem Pemilu Legislatif Dua Negara Asia Tenggara. Harmonization: Jurnal Ilmu Sosial, Ilmu Hukum, dan Ilmu Ekonomi, 1(1), 19-31.

Modelski, George,. (1987). Long Cycles in World Politics. London: Palgrave Macmillan.

Mumford, Andrew,.( 2013). Proxy Warfare. Cambridge: Polity Press.

Nauvarian, D. (2019). Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam: Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(2), 265.

NuDelman, L. (2018). " Beyond Common Sense:" the Resurgence of Thailand's Anachronistic Lèse Majesté Law.

Nurdin, N. (2023). Kesejahteraan Sosial dalam Persepektif Demokrasi dan Otoritarian: Analisis Perbandingan Inggris dan Singapura. PARAPOLITIKA: Journal of Politics and Democracy Studies, 4(2), 140-167.

Setiawan, A., & Fathun, L. M. (2023). Pendekatan Indonesia dan Amerika Serikat Terhadap Proses Demokratisasi Myanmar. Review of International Relations, 5(1), 70-83.

Swift, John, (2003). The Palgrave Concise Historical Atlas of the Cold War. New York: Palgrave Macmillan.

Weatherbee, D. E., (2009). “The Cold War in Southeast Asia”, dalam International Relations in Southeast Asia: the Struggle for Autonomy, edisi kedua. Lanham: Rowman and Littlefield Publishers, hlm. 63-90.

Yanottami, N., & Suhermanto, D. F. (2022). Gerakan Melawan Hukum Monarki di Thailand. Jurnal ISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(2), 66-74.